Selasa, 14 Mei 2013

Romansa Cinta & Perjuangan mempertahankan Kehormatan

Para Mujahid Cinta

Di bawah mataku nampak menara-menara adzan dan kubah-kubah abadi yang telah dibangun oleh leluhur kami yang agung. Nampak negeri kami tercinta dengan paginya yang keemasan, kebun-kebunnya yang hijau, bangunan-bangunannya yang berdiri kokoh menggambarkan sebuah bentuk kekekalan dan kekuatan yang dilindungi oleh Allah. Aku tergesa-gesa turun, dan di akhir anak tangga aku melihatnya.
“Apa yang kau inginkan, Najmat Lail?”
“Apakah kamu akan pergi?!” tanyanya dengan mata berkaca-kaca. Airmata menggenang di pelupuk matanya yang indah. Nada suaranya menunjukkan kesedihan yang mendalam.
“Apa menurutmu Mustafa akan tetap di sini member makan kuda dan menggembalakan kambing?!”
“Kalian semua akan pergi.”
“Iya, tidak ada artinya hidup dalam kehinaan….”
Najmat Lail memandangku lama. Kemudian ia berkata,
“Hatiku mengatakan kau tak akan kembali.”
“Jika kau memang benar-benar mencintaiku, pasti hatimu akan bisa menerimanya.”
“Cinta yang besar menimbulkan ketakutan.”
“Takut?!” kataku sambil menggelengkan kepala.
“Iya, aku tidak berdusta kepadamu.”
“Gadisku, cinta yang sejati tidak akan mati, dan tidak mengenal takut. Jika cinta itu luhur, maka ia akan tetap hidup entah kita telah mati atau masih hidup.